UNTUK beberapa lama serangan-serangannya tidak dapat menyentuh tubuh lawannya sama sekali. Bahkan ketika ia mencoba untuk menyerang mata lawannya dengan jarinya, maka tiba-tiba terasa kepalanya berguncang hebat. Guncangan yang pertama, disusul dengan yang kedua.

Untunglah dalam keadaan terakhir Bagus Handaka masih sempat melihat sebuah kepalan tangan sekali lagi mengarah kepelipisnya. Cepat-cepat ia memalingkan wajahnya. Tangan itu dengan derasnya menyambar tidak lebih dari tebal daun padi di muka hidungnya. Untunglah bahwa Bagus Handaka masih dapat bekerja cepat.

Tangan itu segera ditangkapnya, serta sambil merendahkan diri ia pergunakan tenaga dorong serta berat badan lawannya sendiri untuk membantingnya ke tanah lewat pundaknya.

Dengan kerasnya orang itu terpelanting. Tetapi meski ia jatuh terlentang namun ia berusaha jatuh di atas kedua kaki serta pundaknya saja yang menyentuh tanah. Bagus Handaka tidak mau membiarkannya dalam sikap yang demikian, cepat-cepat ia menyerang lagi lawannya sebelum sempat memperbaiki keadaannya. Dengan kakinya ia menghantam dada orang yang masih terlentang itu. Gerak Bagus Handaka sedemikian cepatnya sehingga lawannya tidak sempat menghindarinya. Maka terdengarlah keluhan pendek. Tetapi sesaat kemudian kaki lawannya itu dengan cepatnya menyapu kakinya, sehingga Bagus Handaka jatuh terbanting pula.

Ketika ia kemudian tegak, lawannya telah berdiri di hadapannya pula. Bahkan dengan suatu lontaran dahsyat ia menyerang ke arah dadanya. Dengan cepatnya Bagus Handaka merendahkan dirinya, dan bersamaan dengan itu ia menjulurkan kakinya lurus-lurus, sehingga dengan demikian ia berhasil mengenai perut lawannya.

Agaknya lawannya sama sekali tidak menyangka bahwa Bagus Handaka akan menyerang selagi ia melakukan serangan yang sedemikian cepat. Karena itu ia terdorong keras beberapa langkah surut disusul dengan serangan Bagus Handaka yang dahsyat pula.

Demikianlah pertempuran itu berlangsung semakin hebat dan cepat. Pada malam kelima, Bagus Handaka yang hampir merasa dapat dikalahkan, ternyata memiliki nafas yang lebih baik dari lawannya sehingga akhirnya lawannya menjadi lemas karena kehabisan nafas.

Tetapi orang keenam ini agaknya mempunyai nafas lebih baik dari kuda. Karena itu semakin lama terasa Bagus Handaka semakin terdesak, tenaganya semakin lama semakin berkurang pula setelah ia berjuang mati-matian untuk mempertahankan dirinya.

Akhirnya pertempuran itu pun menjadi berat sebelah. Beberapa kali Bagus Handaka terpaksa terlempar, terbanting dan kadang-kadang perutnya terasa terguncang-guncang hebat. Dari mulut serta hidung melelehlah darah segar. Sampai sedemikian jauh Bagus Handaka tidak melihat gurunya datang membantunya. Bahkan ketika matanya sudah mulai berkunang-kunang pun Manahan masih belum menampakkan dirinya. Ia menjadi keheran-heranan. Apakah sebenarnya maksud Manahan dengan membiarkannya demikian? Seolah-olah segenap sisa-sisa tenaganya ia tetap melawan dengan beraninya.

Sampai beberapa saat kemudian ketika ia terbanting diatas pasir dan seolah-olah ia sudah sama sekali tidak dapat bergerak lagi, dilihatnya orang berwajah menakutkan itu tertawa berderai sambil selangkah demi selangkah mendekatinya. Bagus Handaka tidak tahu lagi bagaimana ia harus melawan. Tangannya serasa sudah membeku dan darahnya seolah-olah sudah tidak mengalir lagi.

Dalam keadaan yang demikian tiba-tiba orang itu, yang sudah tinggal beberapa langkah dari padanya, terhenyak dan memandang ke suatu titik. Maka sekali lagi meledaklah tertawanya yang mengerikan, disusul dengan suaranya yang menggelegar, Hai, kaukah itu? Jadi kau datang pula untuk membantu muridmu…?

Mendengar suara orang itu, melonjaklah sebuah kegembiraan di hati Bagus Handaka. Agaknya gurunya telah datang. Dan apa yang diduganya adalah benar. Ketika ia mengangkat mukanya, dilihatnya Manahan berjalan dengan tenangnya ke arah orang yang berwajah mirip hantu itu. Melihat gurunya datang, tiba-tiba Bagus Handaka merasa bahwa akan datanglah saatnya ia mengetahui latar belakang dari semua peristiwa-peristiwa itu.

Ketika Manahan telah berdiri di muka orang berwajah jelek itu terdengarlah orang berwajah menakutkan itu berkata, Kaukah yang bernama Manahan?

Manahan menganggukkan kepalanya sambil menjawab, Kenapa kau tanyakan itu? Bukankah kau sudah pasti bahwa guru Bagus Handaka bernama Manahan?

Kembali terdengar orang itu tertawa berderai sehingga suaranya memenuhi pantai. Aku tidak mengira bahwa Manahan orangnya seperti kau ini.

Terdengarlah Manahan menjawab sambil tersenyum, Lalu dari mana kau tahu bahwa kau bernama Manahan?

Karena kau datang pada saat Bagus Handaka sudah tidak dapat bergerak lagi. Aku kira tidak ada orang lain yang akan menolongnya, selain gurunya, sahut orang itu.
Lalu apa anehnya aku ini? tanya Manahan pula.
Aku jadi kecewa melihat tampangmu. Seharusnya kau berwajah seperti asahan batu, berkumis lebat dan bertubuh seperti orang hutan. Supaya ujudmu sesuai dengan namamu yang terkenal itu.
Tak ada orang yang mengenal aku sebagai seorang yang seharusnya bertubuh demikian. Aku adalah seorang petani yang tidak lebih dari menggarap sawah setiap hari, jawab Manahan.

Mendengar jawaban Manahan yang masih bernada dingin itu, Bagus Handaka bertambah heran pula. Kenapa gurunya tidak saja langsung menghantamnya sampai pingsan. Apalagi orang itu telah menghinanya pula.

Tinggalkan komentar